KERAJAAN MATARAM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Kerajaan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan
islam terbersar yang ada ditanah air khususnya di pulau jawa. Kerajaan Mataram
adalah kerajaan Islam terbesar di Jawa yang hingga kini masih mampu bertahan melewati
masa-masa berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, walaupun dalam
wujud yang berbeda dengan terbaginya kerajaan ini menjadi empat pemerintahan
swa-praja, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Puro Mangkunegaran
dan Puro Pakualaman. Sebelumnya memang ada kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
(Tengah) yang lain yang mendahului, seperti Demak dan Pajang. Namun sejak
runtuhnya dua kerajaan itu, Mataramlah yang hingga puluhan tahun tetap eksis
dan memiliki banyak kisah dan mitos yang selalu menyertai perkembangannya.
Paling tidak Mataram berkembang dengan diringi oleh mitos perebutan kekuasaan
yang panjang. Karena itu informasi tentang kerajaan mataram islam tidak begitu
sulit kita dapat karena himgga saat ini kerajaan tersebut masih eksis di tanah
Jawa walaupun dengan konteks yang berbeda.
B.
TUJUAN
Karya ini
disusun bertujuan untuk mengulas kembali tentang kerajaan Mataram Islam yang
ada di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Juga untuk memberikan gambaran
bagaimana keadaan kehidupan masyarakat Jawa Tengah pada masa kerajaan Mataram
Islam, bagaimana kehidupan social, budaya, maupun politiknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Letak dan Asal Mula Kerajaan Mataram
Islam
Kerajaan mataram
berdiri pada tahun 1582. pusat kerajaan ini terletak di sebelah tenggara
kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Para raja yang pernah memerintah di Kerajaan
mataram yaitu penembahan senopati (1584 – 1601), panembahan Seda Krapyak (1601
– 1677). Lahirnya Mataram Islam berkaitan dengan
perkembangan kerajaan Pajang. Sebelum menjadi raja Pajang dengan gelar Sutan
Hadiwijaya (1546-1586), Joko Tingkir atau Mas Karebet harus berperang melawan
Adipati Jipang yang bernama Arya Penangsang. Joko Tingkir dapat mengalahkan
Arya Penangsang berkat bantuan Danang Sataujaya. Namun, kemenangan itu terjadi
karena strategi bagus yang diberikan oleh ayah Danang Sataujaya (yaitu Ki Ageng
Pemanahan) dan tokoh lainnya yang bernama Penjawi. Oleh karena itu, Sutan
Hadiwijaya memberi hadiah tanah Mentaok (sekitar Kota Gede Yogyakarta) kepada
Ki Ageng Pemanahan. Kemudian, Ki Ageng Pemanahan membangun Mentaok menjadi
sebuah Kadipaten yang berada di bawah kekuasaan Pajang. Danang Sataujaya (putra
Ki Ageng Pemanahan) menjadikan Kadipaten yang dibangun ayahnya itu menjadi
sebuah kerajaan baru yang bernama Mataram Islam. Saat itu, setelah Sutan
Hadiwijaya wafat, Pajang merosot. Danang menjadi raja pertama Mataram dengan
gelar Panembahan Senopati (1584-1601). Selama masa kepemimpinanya, semua daerah
di Jawa bagian tengah dan timur (kecuali Blambangan) berhasil ia taklukkan.
B. Bentuk Pemerintahan
Dalam sejarah islam, Kesultanan
mataram memiliki peran yang cukup penting dalam perjalanan secara kerajaan-kerajaan
islam di Nusantara (indonesia). Hal ini terlihat dari semangat raja-raja
untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengislamkan para penduduk daerah
kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan kebudayaan yang
bercorak islam di jawa. Pada awalnya daerah mataram dikuasai kesultanan
pajang sebagai balas jasa atas perjuangan dalam mengalahkan Arya Penangsang.
Sultan Hadiwijaya menghadiahkan daerah mataram kepada Ki Ageng Pemanahan.
Selanjutnya, oleh ki Ageng Pemanahan Mataram dibangun sebagai tempat permukiman
baru dan persawahan.
Akan tetapi, kehadirannya di daerah
ini dan usaha pembangunannya mendapat berbagai jenis tanggapan dari para
penguasa setempat. Misalnya, Ki Ageng Giring yang berasal dari wangsa Kajoran
secara terang-terangan menentang kehadirannya. Begitu pula ki Ageng tembayat
dan Ki Ageng Mangir. Namun masih ada yang menerima kehadirannya, misalnya ki
Ageng Karanglo. Meskipun demikian, tanggapan dan sambutan yang beraneka itu
tidak mengubah pendirian Ki Ageng Pemanahan untuk melanjutkan pembangunan
daerah itu. ia membangun pusat kekuatan di plered dan menyiapkan strategi untuk
menundukkan para penguasa yang menentang kehadirannya.
Pada tahun 1575, Pemahanan meninggal
dunia. Ia digantikan oleh putranya, Danang Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi
Loring Pasar. Di samping bertekad melanjutkan mimpi ayahandanya, ia pun
bercita-cita membebaskan diri dari kekuasaan pajang. Sehingga, hubungan antara
mataram dengan pajang pun memburuk.
Hubungan yang tegang antara
sutawijaya dan kesultanan Pajang akhirnya menimbulkan peperangan. Dalam
peperangan ini, kesultanan pajang mengalami kekalahan. Setelah penguasa pajak
yakni hadiwijaya meninggal dunia (1587), Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi
raja Mataram dengan gelar penembahan Senopati Ing Alaga. Ia mulai membangun
kerajaannya dan memindahkan senopati pusat pemerintahan ke Kotagede. Untuk
memperluas daerah kekuasaanya, penembahan senopati melancarkan
serangan-serangan ke daerah sekitar. Misalnya dengan menaklukkan Ki Ageng
Mangir dan Ki Ageng Giring.
Pada tahun 1590, penembahan senopati
atau biasa disebut dengan senopati menguasai madiun, yang waktu itu bersekutu
dengan surabaya. Pada tahun 1591 ia mengalahkan kediri dan jipang, lalu
melanjutkannya dengan penaklukkan Pasuruan dan Tuban pada tahun 1598-1599.
Sebagai raja islam yang baru,
panembahan senopati melaksanakan penaklukkan-penaklukan itu untuk mewujudkan
gagasannya bahwa mataram harus menjadi pusat budaya dan agama islam,
untuk menggantikan atau melanjutkan kesultanan demak. Disebutkan pula dalam
cerita babad bahwa cita-cita itu berasal dari wangsit yang diterimanya dari
Lipura (desa yang terletak di sebelah barat daya Yogyakarta). Wangsit datang
setelah mimpi dan pertemuan senopati dengan penguasa laut selatan, Nyi Roro
Kidul, ketika ia bersemedi di Parangtritis dan Gua Langse di Selatan
Yogyakarta. Dari pertemuan itu disebutkan bahwa kelak ia akan menguasai seluruh
tanah jawa.
Sistem pemerintahan yang dianut Kerajaan
mataram islam adalah sistem Dewa-Raja. Artinya pusat kekuasaan tertinggi
dan mutlak ada pada diri sultan. Seorang sultan atau raja sering digambarkan
memiliki sifat keramat, yang kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan air muka
dan kewibawannya yang tiada tara. Raja menampakkan diri pada rakyat sekali
seminggu di alun-alun istana.
Selain sultan, pejabat penting
lainnya adalah kaum priayi yang merupakan penghubung antara raja dan rakyat.
Selain itu ada pula panglima perang yang bergelar Kusumadayu, serta perwira
rendahan atau Yudanegara. Pejabat lainnya adalah Sasranegara, pejabat
administrasi.
Dengan sistem pemerintahan seperti
itu, Panembahan senopati terus-menerus memperkuat pengaruh mataram dalam
berbagai bidang sampai ia meninggal pada tahun 1601. ia digantikan oleh
putranya, Mas Jolang atau Penembahan Seda ing Krapyak (1601 – 1613). Peran mas
Jolang tidak banyak yang menarik untuk dicatat. Setelah mas jolang meninggal,
ia digantikan oleh Mas Rangsang (1613 – 1645). Pada masa pemerintahannyalah
Mataram mearik kejayaan. Baik dalam bidang perluasan daerah kekuasaan, maupun
agama dan kebudayaan.
Pangeran Jatmiko atau Mas Rangsang
Menjadi raja mataram ketiga. Ia mendapat nama gelar Agung Hanyakrakusuma selama
masa kekuasaan, Agung Hanyakrakusuma berhasil membawa Mataram ke puncak
kejayaan dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta.
Gelar “sultan” yang disandang oleh
Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja-raja
sebelumnya, yaitu panembahan Senopati dan Panembahan Seda Ing Krapyak. Ia
dinobatkan sebagai raja pada tahun 1613 pada umur sekitar 20 tahun, dengan
gelar “Panembahan”. Pada tahun 1624, gelar “Panembahan” diganti menjadi
“Susuhunan” atau “Sunan”. Pada tahun 1641, Agung Hanyakrakusuma menerima
pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya
Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman.
Karena cita-cita Sultan Agung untuk
memerintah seluruh pulau jawa, kerajaan Mataram pun terlibat dalam
perang yang berkepanjangan baik dengan penguasa-penguasa daerah, maupun dengan
kompeni VOC yang mengincar pulau Jawa. Pada tahun 1614, sultan agung
mempersatukan kediri, pasuruan, lumajang, dan malang. Pada tahun 1615, kekuatan
tentara mataram lebih difokuskan ke daerah wirasaba, tempat yang sangat
strategis untuk menghadapi jawa timur. Daerah ini pun berhasil ditaklukkan.
pada tahun 1616, terjadi pertempuran antara tentara mataram dan tentara
surabaya, pasuruan, Tuban, Jepara, wirasaba, Arosbaya dan Sumenep. Peperangan
ini dapat dimenangi oleh tentara mataram, dan merupakan kunci kemenangan untuk
masa selanjutnya. Di tahun yang sama Lasem menyerah. Tahun 1619, tuban dan
Pasuruan dapat dipersatukan. Selanjutnya mataram berhadapan langsung dengan
Surabaya. Untuk menghadapi surabaya, mataram melakukan strategi mengepung,
yaitu lebih dahulu menggempur daerah-daerah pedalaman seperti Sukadana (1622)
dan Madura (1624). Akhirnya, Surabaya dapat dikuasai pada tahun 1625.
Dengan penaklukan-penaklukan
tersebut, Mataram menjadi kerajaan yang sangat kuat secara militer. Pada tahun,
1627, seluruh pulau jawa kecuali kesultanan Banten dan wilayah kekuasaan
kompeni VOC di Batavia ttelah berhasil dipersatukan di bawah mataram. Sukses
besar tersebut menumbuhkan kepercayaan diri sultan agung untuk menantang
kompeni yang masih bercongkol di Batavia. Maka, pada tahun 1628, Mataram
mempersiapkan pasukan di bawah pimpinan Tumengggung Baureksa dan Tumenggung
Sura Agul-agul, untuk menggempur batavia.
Sayang sekali, karena kuatnya
pertahanan Belanda, serangan ini gagal, bahkan tumengggung Baureksa gugur.
Kegagalan tersebut menyebabkan matara bersemangat menyusun kekuatan yang lebih
terlatih, dengan persiapan yang lebih matang. Maka pada pada 1629, pasukan
Sultan Agung kembali menyerbu Batavia. Kali ini, ki ageng Juminah, Ki Ageng
Purbaya, ki Ageng Puger adalah para pimpinannya. Penyerbuan dilancarkan
terhadap benteng Hollandia, Bommel, dan weesp. Akan tetapi serangan ini kembali
dapat dipatahkan, hingga menyebabkan pasukan mataram ditarik mundur pada tahun
itu juga. Selanjutnya, serangan mataram diarahkan ke blambangan yang dapat
diintegrasikan pada tahun 1639
Di luar peranan politik dan militer,
Sultan Agung dikenal sebagai penguasa yang besar perhatiannya terhadap
perkembangan islam di tanah jawa. Ia adalah pemimpin yang taat beragama,
sehingga banyak memperoleh simpati dari kalangan ulama. Secara teratur, ia
pergi ke masjid, dan para pembesar diharuskan mengikutinya. Untuk memperkuat
suasana keagamaan, tradisi khitan, memendekkan rambut bagi pria, dan mengenakan
tutup kepala berwarna putih, dinyatakan sebagai syariat yang harus ditaati.
Bagi Sultan Agung, Kerajaan
Mataram adalah kerajaan islam yang mengemban amanat Tuhan di tanah
jawa. Oleh sebab itu, struktur serta jabatan kepenghuluan dibangun dalam sistem
kekuasaan kerajaan. Tradisi kekuasaan seperti sholat jumat di masjid, grebeg
ramadan, dan upaya pengamanalan syariat islam merupakan bagian tak
terpisahkan dari tatanan istana.
Sultan agung juga berprediksi
sebagai pujangga. Karyanya yang terkenal yaitu kitab Serat Sastra Gendhing.
Adapun kita serat Nitipraja digubahnya pada tahun 1641 M. Serat sastra Gendhing
berisi tetang budi pekerti luhur dan keselarasan lahir batin. Serat Nitipraja
berisi tata aturan moral, agar tatanan masyarakat dan negara dapat menjadi
harmonis. Selain menulis, Sultan Agung juga memerintahkan para pujangga kraton
untuk menulis sejarah babad tanah jawi.
Di antara semua karyanya , peran
sultan agung yang lebih membawa pengaruh luas adalah dalam penanggalan. Sultan
agung memadukan tradisi pesantren islam dengan tradisi kejawen dalam
perhitungan tahun. Masyarakat pesantren biasa menggunakan tahun hijriah,
masyarakat kejawen menggunakan tahun Caka atau saka. Pada tahun 1633, Sultan
Agung berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun
yang baru bagi seluruh mataram. Perhitungan itu hampir seluruhnya disesuaikan
dengan tahun hijriah, berdasarkan perhitungan bulan. Namun, awal perhitungan
tahun jawa ini tetap sama dengan tahun saka, yaitu 78 m. Kesatuan perhitungan
tahun sangat penting bagi penulisan serat babad. Perubahan perhitungan itu
merupakan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan proses pengislaman
tradisi dan kebudayaan jawa yang sudah terjadi sejak berdirinya kerajaan demak.
Hingga saat ini, sistem penanggalan ala sultan Agung ini masih banyak
digunakan.
Sejak masa sebelum sultan Agung
pembangunan non-militer memang telah dilakukan. Satu yang layak disebut,
panembahan Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatanan gempuran.
Setelah zaman senopati, mas jolang juga berjasa dalam kebudayaan, dengan
berusaha menyusun sejarah negeri demak, serta menulis beberapa kitap
suluk. Misalnya Sulu Wujil (1607 M) yang berisi wejangan Sunan bonang kepada
abdi raja majapahit yang bernama Wujil. Pangeran Karanggayam juga menggubah
Serat Nitisruti (1612 m) pada masa mas jolang.
Menjelang akhir hayatnya. Sultan Agung menerapkan
peraturan yang bertujuan mencegah perebutan tahta, antara keluarga raja dan
putra mahkota. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Mataram tidak hanya menjadi
pusat kekuasaan, tapi juga menjadi pusat penyebaran islam.
Kemajuan yang dicapai pada masa
pemerintahan Sultan Agung meliputi kemajuan di bidang politik, ekonomi, sosial,
dan budaya, yaitu :
1. Bidang
Politik
Kemajuan politik yang dicapai Sultan
Agung adalah menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang Belanda
di Batavia.
a.
Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam
Sultan Agung
berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Usaha ini dimulai dengan
menguasai Gresik, Jaratan, Pamekasan, Sumenep, Sampang, Pasuruhan, kemudian
Surabaya. Salah satu usahanya mempersatukan kerajaan Islam di Pulau Jawa ini
ada yang dilakukan dengan ikatan perkawinan. Sultan Agung mengambil menantu
Bupati Surabaya Pangeran Pekik dijodohkan dengan putrinya yaitu Ratu
Wandansari.
b.
Anti penjajah Belanda
Sultan Agung
adalah raja yang sangat benci terhadap penjajah Belanda. Hal ini terbukti
dengan dua kali menyerang Belanda ke Batavia, yaitu yang pertama tahun 1628 dan
yang kedua tahun 1629. Kedua penyerangan ini mengalami kegagalan. Adapun
penyebab kegagalannya, antara lain:
- Jarak yang terlalu jauh berakibat mengurangi ketahanan prajurit mataram. Mereka harus menempuh jalan kaki selama satu bulan dengan medan yang sangat sulit.
- Kekurangan dukungan logistik menyebabkan pertahanan prajurit Mataram di Batavia menjadi lemah.
- Kalah dalam sistem persenjataan dengan senjataa yang dimiliki kompeni Belanda yang serba modern.
- Banyak prajurit Mataram yang terjangkit penyakit dan meninggal, sehingga semakin memperlemah kekuatan.
- Portugis bersedia membantu Mataram dengan menyerang Batavia lewat laut, sedangkan Mataram lewat darat. Ternyata Portugis mengingkari. Akhirnya Mataram dalam menghadapai Belanda tanpa bantuan Portugis.
- Kesalahan politik Sultan Agung yang tidak menadakan kerja sama dengan Banten dalam menyerang Belanda. Waktu itu mereka saling bersaing.
- Sistem koordinasi yang kurang kompak antara angkatan laut dengan angkatan darat. Ternyata angkatan laut mengadakan penyerangan lebih awalm sehingga rencana penyerangan Mataram ini diketahui Belanda.
- Akibat penghianatan oleh salah seorang pribumi, sehingga rencana penyerangan ini diketahui Belanda sebelumnya.
2. Bidang
Ekonomi
·
Kemajuan dalam bidang ekonomi meliputi
hal-hal berikut ini:
Sebagai negara agraris, Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi. Mataram juga mengadakan pemindahan penduduk (transmigrasi) dari daerah yang kering ke daerah yang subur dengan irigasi yang baik. Dengan usaha tersebut, Mataram banyak mengekspor beras ke Malaka.
Sebagai negara agraris, Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi. Mataram juga mengadakan pemindahan penduduk (transmigrasi) dari daerah yang kering ke daerah yang subur dengan irigasi yang baik. Dengan usaha tersebut, Mataram banyak mengekspor beras ke Malaka.
·
Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam di
pesisir Jawa tidak hanya menambah kekuatan politik, tetapi juga kekuatan
ekonomi. Dengan demikian ekonomi Mataram tidak semata-mata tergantung ekonomi
agraris, tetapi juga karena pelayaran dan perdagangan.
3. Bidang
Sosial Budaya
Kemajuan dalam bidang sosial budaya meliputi hal-hal
berikut:
a.
Timbulnya kebudayaan kejawen
Unsur ini
merupakan akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan asli Jawa dengan Islam.
Misalnya upacara Grebeg yang semula merupakan pemujaan roh nenek moyang.
Kemudian, dilakukan dengan doa-doa agama Islam. Saampai kini, di jawa kita
kenal sebagai Grebeg Syawal, Grebeg Maulud dan sebagainya.
b.
Perhitungan Tarikh Jawa
Sultan Agung
berhasil menyusun tarikh Jawa. Sebelum tahun 1633 M, Mataram menggunakan tarikh
Hindu yang didasarkan peredaran matahari (tarikh syamsiyah). Sejak tahun 1633 M
(1555 Hindu), tarikh Hindu diubah ke tarikh Islam berdasarkan peredaran bulan
(tarikh komariah). Caranya, tahun 1555 diteruskan tetapi dengan perhitungan
baru berdasarkan tarikh komariah. Tahun perhitungan Sultan Agung ini kemudian
dikenal sebagai “tahun Jawa”.
c.
Berkembangnya Kesusastraan Jawa
Pada zaman
kejayaan Sultan Agung, ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat, termasuk di
dalamnya kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang kitab yang berjudul
Sastra Gending yang merupakan kitab filsafat kehidupan dan kenegaraan.
Kitab-kitab yang lain adalah Nitisruti, Nitisastra, dan Astrabata. Kitab-kitab
ini berisi tentang ajaran-ajaran budi pekerti yang baik.
Pengaruh
Mataram mulai memudar setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 M.
Selanjutnya, Mataram pecah menjadi dua, sebagaimana isi Perjanian Giyanti
(1755) berikut:
- Mataram Timur yang dikenal Kesunanan Surakarta di bawah kekuasaan Paku Buwono III dengan pusat pemerintahan di Surakarta.
- Mataram Barat yang dikenal dengan Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I dengan pusat pemerintahannya di Yogyakarta.
Perkembangan berikutnya, Kesunanan
Surakarta pecah menjadi dua yaitu Kesunanan dan Mangkunegaran (Perjanjian
Salatiga 1757). Kesultanan Yogyakarta juga terbagi atas Kesultanan dan Paku Alaman.
Perpecahan ini terjadi karena campur tangan Belanda dalam usahanya memperlemah
kekuatan Mataram, sehingga mudah untuk di kuasai.
Sultan Agung
meninggal pada Februari 1646. ia dimakamkan di puncak Bukit Imogiri, Bantul
,Yogyakarta. Selanjutnya, Mataram diperintah
oleh putranya, Sunan Tegalwangi, dengan gelar Amangkurat I ( 1646 – 1677).
Dalam masa pemerintahan Amangkurat I, kerajaan mataram mulai mundur. Wilayah kekuasaan
mataram berangsur-angsur menyempit karena direbut oleh kompeni VOC. Yang paling
mengenaskan, pada tahun 1675, Rade Trunajaya dari Madura memberontak.
Pemberontakannya demikian tak terbendung, sampai-sampai Trunajaya berhasil
menguasai keraton Mataram yang waktu itu teletak di Plered. Amangkurat
terlunta-lunta mengungsi, dan akhirnya meninggal di Tegal.
Sepeninggal
Amangkurat I, Mataram dipegang oleh Amangkurat II yang menurunkan Dinasti Paku
Buwana di Solo dan Hamengku Buwana di Yogyakarta. Amangkurat II meminta bantuan
VOC untuk memadamkan pemberontakan Trunajaya. Setelah berakhirnya Perang
Giyanti (1755), wilayah kekuasaan mataram semakin terpecah belah. Berdasarkan
perjanjian giyanti, mataram dipecah menjadi dua, yakni mataram sukrakarta dan
mataram yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813, perpecahan terjadi lagi dengan
munculnya Mangkunegara dan pakualaman. Di masa pemerintahan Hindia Belanda,
keempat pecahan kerajaan mataram ini disebut sebagai vorstenlanden. Saat ini,
keempat pecahan Kesultanan Mataram tersebut masih melanjutkan dinasti
masing-masing. Bahkan peran dan pengaruh pecahan mataram tersebut, terutama
kesultanan Yogyakarta masih cukup besar dan diakui masyarakat.
C.
Aspek Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat di kerajaan Mataram, tertata dengan baik berdasarkan
hukum Islam tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan
Kerajaan Mataram Islam, Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian
diikuti oleh sejumlah pejabat kerajaan. Di bidang keagamaan terdapat penghulu,
khotib, naid, dan surantana yang bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan.
Di bidang pengadilan, dalam istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas
menjalankan pengadilan istana. Untuk menciptakan ketertiban di seluruh
kerajaan, diciptakan peraturan yang dinamakan anger-anger yang harus dipatuhi
oleh seluruh penduduk.
D.
Aspek Kehidupan Ekonomi dan
Kebudayaan
Kerajaan Mataram adalah kelanjutan dari Kerajaan Demak dan Pajang.
Kerajaan ini menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini
karena letaknya yang berada di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki
daerah kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut.
Daerah pesisir inilah yang berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan
Mataram. Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan Mataram berupa
seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang berkembang adalah
Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan
Islam.
Di samping itu,
perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan karya sastra yang cukup
terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari hukum Islam
dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam.
E.
Puncak Kejayaan Mataram Islam
Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya pada jaman Sultan Agung
Hanyokrokusumo (1613-1646). Daerah kekuasaannya mencakup Pulau Jawa (kecuali
Banten dan Batavia), Pulau Madura, dan daerah Sukadana di Kalimantan Barat.
Pada waktu itu, Batavia dikuasai VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)
Belanda.
Kekuatan militer Mataram sangat besar. Sultan Agung yang sangat anti
kolonialisme itu menyerang VOC di Batavia sebanyak dua kali (1628 dan 1629).
Menurut Moejanto seperti yang dikutip oleh Purwadi (2007), Sultan Agung
memakai konsep politik keagungbinataran yang berarti bahwa kerajaan
Mataram harus berupa ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi, dan tidak
terbagi-bagi.
F.
Kemunduran Mataram Islam
Kemunduran Mataram Islam berawal saat kekalahan Sultan Agung merebut
Batavia dan menguasai seluruh Jawa dari Belanda. Setelah kekalahan itu,
kehidupan ekonomi rakyat tidak terurus karena sebagian rakyat dikerahkan untuk
berperang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesultanan Mataram adalah
kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini
dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang
mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit.
Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di
"Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai
hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan
Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan
tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di
Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya
malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan
relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat
dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem
persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa
Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah
yang masih berlaku hingga sekarang.
DAFTAR
PUSTAKA
Comments
Post a Comment